“Perjalanan Konstitusi di Indonesia”
Paper ini Diajukan
Dalam Rangka Melengkapi Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Di Susun Oleh :
ASIKIN ABDUL AZIZ
NIM. 1143020082
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015 M/1436 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini
disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan
bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau
dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga
negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan
dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang
seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang
tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa. Realitas yang berkembang kemudian memang
telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk
mengamandemen UUD 1945.
Bagaimana cara mewujudkan komitmen
itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa
perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari
proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah
hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah
telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang
demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan
rakyat dan kemanusiaan. Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu,
kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang
dapat dikatakan lebih baik dan sempurna.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Konstitusi?
2. Apa
tujuan, fungsi dan ruanglingkup?
3. Klasifikasikan
macam-macam konstitusi?
4. Bagaimana
perjalanan konstitusi di indonesia?
C.
Maksud
dan Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian konstitusi
2. Untuk
mengetahui tujuan, fungsi dan ruanglingkup konstitusi
3. Mengetahui
klasifikasi konstitusi
4. Mengetahui
perjalanan konstitusi di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konstitusi
Konstitusi
berasal dari bahasa Perancis “constitue” yang berarti membentuk. Maksud
dari istilah tersebut ialah penyusunan, atau pernyataan akan suatu negara.
Dalam bahasa latin, kata Konstitusi
merupakan gabungan dua kata yakni cume berarti “bersama dengan”, dan statuere
berarti “membuat suatu agar berdiri atau
mendirikan, menetapkan sesuatu.Dengan kata lain constutions berati menetapkan
sesuatu secara bersama sama, constutiones berarti segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Istilah
Konstitusi (constitutions) dalam bahasa inggris memiliki makna yang lebih luas
dari pada Undang-undang Dasar, yakni Konstitusi adalah keseluruhan dari
peraturan peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselanggarakan dalam
suatu masyarakat. Konstitusi menurut Miriam Budiardjo adalah suatu piagam yang
menyatakan suatu cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan
suatu bangsa. Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan bagian tertulis dalam
konstitusi.
Terdapat
beberapa makna terkait dengan istilah konstitusi seperti konstitusi dalam arti
material artinya yaitu perhatian terhadap isisnya yang terdiri atas pokok yang sangat penting dalam struktur dan
organisasi negara, konstitusi dalam arti formil artinya yaitu perhatian
terhadap prosedur, pembentukannya yang harus istimewa dinabdingkan dengan
pembentukan perundang-undangan lainya, Konstitusi dalam arti tertulis yang
bertujuan untuk memudahkan fihak-fihak mengetahuinya. Konstitusi dalam arti
undang-undang tertinggi artinya yaitu
pembentukan dan perubahannya melelui prosedur istimewa dan merupakan dasar
tertinggi dari perundang-undangan lainnya yang berlaku dalam negara.
Dari
beberapa pengertian diatas, konstitusi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Suatu
kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para
penguasa.
2.
Suatu
dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem
politik.
3.
Suatu
deskripsi yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia.
B.
Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi
Tujuan
konstitusi secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan
sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan
menetapkan pelaksanaan yang berdaulat. Dalam literatur hukum tata negara maupun
ilmu politik di tegaskan bahwa fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen
nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negara.
Menurut Sri Soemantri menyatakan ada tiga materi muatan pokok dalam
konstitusi yaitu:
1.
Jaminan
hak-hak asasi manusia.
2.
Susunan
ketatanegaraan yang bersifat medasar.
3.
Pembagian
dan pembatasan kekuasaan.
Selanjutnya dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi
konstitusi meliputi:
1.
Kekuasaan
politik tunduk pada hukum
2.
Jaminan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia
3.
Peradilan
yang bebas dan mandiri
4.
Pertanggung
jawaban kepada rakyat sebagai sendi utama dari atas kedaulatan rakyat.
Konstitusi
memiliki fungsi yang berperan dalam suatu negara. Fungsi konstitusi adalah
sebagai berikut:
1. Konstitusi
berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak terjadinya
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah agar hak-hak bagi warga
negara terlindungi dan tersalurkan (konstitusionalisme).
2. Konstitusi
berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu negara (a birth certificate of new
state).
3. Konstitusi
berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi.
4. Konstitusi
berfungsi sebagai alat yang membatasi kekuasaan
5. Konstitusi
berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang
6. Konstitusi
berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia dan kebebasan warga suatu negara.
Konstitusi
suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat
hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus
memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi
jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam
konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang
besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu negara yang
demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam
konstitusinya.
Adakalanya keinginan rakyat untuk
mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur dalam
konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi
biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri,
yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang
terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan
semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang
belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem
yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan
konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah,
maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan
(penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi
yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan
amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen
tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut
oleh Amerika Serikat.
C.
Klasifikasi Konstitusi
Ada beberapa klasifikasi konstitusi diantaranya yaitu:
1.
Konstitusi
Terlulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi
tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus
dalam proses perumusannya. Konstitusi tertulis ini dijumpai pada sebuah hukum
dasar yang di adopsi oleh rancangan para penyusun konstitusi yang bertujuan
untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses undang-undang biasa
untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan-aturan yang sudah di siapkan.
Sedangkan
Konstitusi Tidak Tertulis adalah Konstitusi yang lebih berkembang atas dasar
adat istiadat dari pada hukum tertulis. Konstitusi ini dalam perumusannya tidak
membutuhkan proses yang panjang.
2.
Konstitusi
Fleksibel dan Konstitusi Kaku
Konstitusi fleksibel dapat dikatakan sebagai konstitusi yang dapat
diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Sebaliknya konstitusi
yang menyatakan mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau
amandemenya disebut konstitusi kaku.
Ciri-ciri konstitusi fleksibel , yaitu:
a.
Elastis
b.
Diumumkan
dan diubah dengan cara yang sama persis dengan undang-undang.
Sedangkan ciri-ciri konstitusi kaku, yaitu:
a.
Mempunyai
kedudukan dan derajat tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain.
b.
Hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang
berat.
3.
Konstitusi
Serikat dan Konstitusi Kesatuan
Konstitusi
bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu negara tersebut jika bentuk suatu
negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara
pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian ini
diatur dalam konstitusi.
4.
Konstitusi
Sistem Pemerintahan Presidensial dan Konstitusi Sistem Pemerintahan Parlementer
Ciri-ciri konstitusi sisem presidensial, yaitu:
a.
Presiden
tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif,akan tetapi dipilih langsung
oleh rakyat atau oleh dewan pemilihan, seperti Amerika Serikat dan Indonesia
b.
Presiden
tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.
c.
Presiden
tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan diadakan pemilihan.
Sedangkan
ciri-ciri konstitusi sistem pemerintahan parlementer, yaitu:
a.
Kabinet
yang dipilih oleh Perdana Mentri dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan yang
menguasai parlemen.
b.
Para
anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin juga sebagian adalah anggota
parlemen.
c.
Perdana
mentri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen.
d.
Kepala
negara dengan saran atau nasihat Perdana Mentri dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
D.
Sejarah Perkembangan Konstitusi di Dunia
Konstitusi
telah dikenal sejak jaman bangsa Yunani yang memiliki beberapa kumpulan hukum
(semacam kitab hukum pada 624-404 SM). Athena pernah mempunyai tidak kurang
dari 11 konstitusi, sedangkan Aristoteles sendiri berhasil mengoleksi sebanyak
158 buah konstitusi dari beberapa negara. Pada masa itu istilah konstitusi
hanya pemahaman tentang suatu kumpulan peraturan serta adat kebiasaan
semata-mata. Sejalan dengan beriringnya waktu pada masa kekaisaran Roma makna
dari konstitusi mengalami perubahan yaitu suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum,
negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang.
Konstitusi
Roma mempunyai pengaruh yang cukup besar sampai abad pertengahan yang
memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham Demokrasi Perwakilan dan
Nasionalisme. Dua paham inilah yang nantinya merupakan cikal bakal munculnya
paham konstitusionalisme modern.
Selanjutnya
pada abad VII yaitu zaman klasik lahirlah piagam Madinah atau Konstitusi
Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam (622 M)
merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh
bermacam kelompok dan golongan antara lain yaitu: Islam,Yahudi, Hindu,dan
lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas berkeyakinan, kebebasan
berpendapat, kewajiban kemasyarakatan, dan juga mengatur tentang
kepentingan-kepentingan umum. Konstitusi Madinah merupakan konstitusi pertama
di dunia yang telah memuai materi sebagai mana layaknya konstitusi modern di
dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Pada
tahun 1789 meletus revolusi prancis, di tandai dengan ketegangan-ketegangan di
masyarakat dan terganggunya keamanan negara. Instabilitas sosial di prancis
memunculkan bahwa perlunya konstitusi (constituante). Maka pada tanggal 14
September 1791 tercatat sebagai diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis
XVI. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia baik monarki,
maupun republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan prinsip
ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi.
Setelah
peristiwa tersebut, maka muncul konstitusi dalam bentuk tertulis yang di
pelopori oleh Amerika. Konstitusi tertulis model Amerika ini berhasil diikuti
oleh negara-negara lainnya di Eropa, seeperti spanyol yaitu pada tahun 1812,
Norwegia yaitu pada tahun 1814, Belanda pada tahun 1815. Dan hal yang perlu di
catat bahwa dalam konstitusi tertulis pada waktu itu belum menjadi hukum dasar
yang penting. Konstitusi sebagai UUD, atau sering disebut dengan “Konstitusi
Modern” baru muncul bersama dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan.
Demokrasi ini muncul sebagai untuk pemenuhan kebutuhan rakyat akan kepercayaan
terhadap lembaga perwakilan (Legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagain
pembuat undang-undang untuk mengurangi dan membatasi dominasi para raja sehingga
alasan inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang
posisinya lebih tinggi terhadap peraturan raja.
E.
Perkembangan Konstitusi di
Indonesia
Sebagai
negara hukum Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang
Dasar 1945dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 1 juli 1945 oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) yang
beranggotakan 62 orang, yang di ketuai oleh Mr. Radjiman Wedyodiningrat. Tugas pokok badan ini sebenarnya menyusun UUD
namun dalam praktik persidangannya berjalan berkepanjangan khususnya pada
permaslahan pembahasan masalah dasar negara. Di akhir sidang I BPUPKI berhasil
membentuk panitia kecil yang di sebut dengan Panitia Sembilan. Panitia ini pada
tanggal 22 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah
Mukaddimah UUD. Hasil panitia ini akhirnya berhasil di setujui dalam sidang II
BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu Soekarno membentuk panitia kecil pada
tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas untuk menyusun
rancangan Undang-Undang Dasar dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Republik Indonesia (PPKI).
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara
Republik Indonesia akhirnya di sahkan dan di tetapkan oleh PPKI pada hari sabtu
tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian sejak di tetapkannya konstitusi pada
tanggal tersebut negara Indonesia di tetapkan sebagai negara modern karna telah
telah memiliki sistem ketatanegaraan yaitu Undang-Undang atau Konstitusi
Negarayang memuat tata kerja konstitusi modern. Dalam perjalanan sejarah
konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa perubahan atau pergantian baik
nama maupun substansi materi yang dikandungnya.
Perjalanan
sejarah konstitusi Indonesia yaitu:
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Masa
berlakunya sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 yaitu selama 4 tahun.
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus
1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia
diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan
pemerintah bala tentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”
yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh
Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji
Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia. Namun, setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya
melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan
pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar sebagai
dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.
Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini
beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta
Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua.
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10
Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan
dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan
pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan
pertama, pembicaraan tertuju pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar falsafah
yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan
mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan
dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus
1945.
Dalam
masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota
terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk
Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri
atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim,
dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan
tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang
Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan
tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah
mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah
rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini
terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi
rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. namun demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945.
UUD
1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan
kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat
saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik
Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut
istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang
Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka
sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan
tegas dalam ketentuan asli aturan tambahan pasal II UUD 1945 yang berbunyi
“dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini
bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya
ketentuan pasal III aturan tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik
Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya
secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999,
MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945
sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
2.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
Konstitusi
ini berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Setelah perang dunia
kedua berakhir dengan kemenangan di pihak tentara sekutu dan kekalahan di pihak
Jepang, maka kepergian pemerintah balatentara jepang dari tanah air Indonesia
dimanfaatkan oleh pemerintah belanda untuk kembali menjajah indonesia. Namun,
usaha pemerintah belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah
karena mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, pemerintah belanda menerapkan politik adu domba dengan cara
mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah
nusantara, seperti negara sumatera, negara indonesia timur, negara pasundan,
negara jawa timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang
terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah
kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh
pemerintah belanda.
Sejalan
dengan hal itu, tentara belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi
II pada tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan
terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23
Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja
Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konperensi ini dihadiri oleh
wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’
(B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Indonesia.
Konperensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal,
yaitu:
1.
Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2.
Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu:
a.
piagam
penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS;
b.
status
UNI;
c.
persetujuan
perpindahan.
3.
Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah
konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik
Indonesia dan delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr.
Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut.
Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan
sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian
dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional
Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian
resma mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14
Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27
Desember 1949.
Dengan
berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun
1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara
federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi
RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah
Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam
persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949,
tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap
berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal
ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa
berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950
resmi diberlakukan.
Konstitusi
RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun
1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.
Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah
representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan
ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini,
jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
3.
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950
UUDS
ini berlakunya sejak 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Bentuk negara federal
nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan
kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara
federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk
diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan
Belanda itu maka ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara
yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap
konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara
kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara
federal.
Karena
itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka
konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara
Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa
Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya
dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan
Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan
bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya
kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam
rangka persiapan ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah
Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun
rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu
kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12
Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia
Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini
diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu dengan
ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga
isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah
baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti
halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini
terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu.
Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan
pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini
diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi
dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950;
Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus
1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan
terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10
November 1956.
Majelis
Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk
menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa
Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik
Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang
dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan
karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden
untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan
Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak
tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang
kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya
Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan
hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor
Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit
Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan
prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim[8],
prinsip ‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan
landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk
menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja
menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965
adalah masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966
tersebut dengan asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya
prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas
dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD
1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap
sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin
lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi
yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian
selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang
irrasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan
bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas
merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau
diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD
1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru
selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan.
Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara
dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak
rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
4.
Undang-Undang Dasar 1945
Yang
merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia dengan masa
berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang. Perubahan
UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan
reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian
Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem
hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai
hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Gagasan
perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa
reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani
yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan perundang-undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999,
seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945
yaitu:
a)sepakat
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b) sepakat
untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) sepakat
untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
d) sepakat
untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
e) sepakat
untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian
dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari
tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002
bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan
pertama pada tahun 1999, Perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada
tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan
itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan
dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara
substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun
tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi :
1.Pembentukan
MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
2.Pemberlakuan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
3.Pembubaran
konstituante.
Sejak Dekrit Presiden ini, UUD 1945 terus menjadi
hukum dasar. Sifatnya masih sebagai UUD sementara, namun pada masa Orde Baru,
konsolidasi kekuasaan lama kelamaan semakin terpusat. Di sisi lain, sikus
kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan
tidak mengalami perubahan selama 32 tahun. Akibatnya UUD 1945 mengalami proses
sakralisai yang irasional semasa rezim Orde Baru. UUD 1945 tidak diizinkan
bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 jelas merupakan
UUD yang sementara dan belum pernah dipergunakan dan diterapkan secara
sungguh-sungguh.
5.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan digantikan oleh
Orde Reformasi, muncul tuntusn untuk melakukan perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan
pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4
kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan
MPR:
·
Sidang Umum MPR
1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
·
Sidang Tahunan
MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
·
Sidang Tahunan
MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
·
Sidang Tahunan
MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Pada
akhirnya, Indonesia memakai UUD 1945 sebagai konstitusi nya karena UUD dianggap
paling cocok dan telah mencakup semua pemikiran-pemikiran rakyat. Selain itu,
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang
merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak
diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila
sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah
adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang
hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan
nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
Beberapa
amandemen UUD di indonesia yaitu:
a. Amandemen
Pertama.
Perubahan pertama terhadap UUD 1945
terjadi pada tanggal 19 Oktober 1999 dalam sidang umum MPR yang berlangsung
tanggal 14-21 Oktober 1999. perubahan itu meliputi pasal-pasal 5, 7, 8, 9, 13,
14, 15, 17, 20,dan 21. karena pasal-pasal ini yang berkaitan dengan kekuasaan
presiden yang sangat besar. Untuk itu, prioritas pertama adalah mengurai dan
membatasi kekuasaan presiden.
b. Amandemen
Kedua.
Perubahan kedua ini dilakukan pada
tanggal 7-8 Agustus 2000. Perubahan kedua UUD 1945 antara lain diarahkan untuk
memperteguh otonomi daerah, melengkapi pemberdayaan DPR, menyempurnakan rumusan
HAM, menyempurnakan pertahanan dan keamanan Negara, dan melengkapi atibut
Negara.
c. Amandemen
Ketiga.
Sidang tahunan MPR yang berlangsung 1-9
November 2001 telah menghasilkan perubahan ketiga UUD 1945 terhadap 3 bab, 23 pasal, dan 64 ayat
ketentuan undang-undang dasar. Perubahan ketiga ini antara lain diarahkan untuk
menyempurnakan pelaksaan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang MPR, mengatur
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, mengantur impeachment
terhadap presiden dan/ atau wakil presiden membentuk lembaga DPD, mengatur
pemilihan umum, meneguhkan kedudukan dan Badan Pemeriksa Keuangan, serta
meneguhkan kekuasaan kehakiman dengan lembaga baru yaitu Mahkama Konstitusi
(MK) dan Komosi Yudisial (KY).
d. Amandemen
Keempat.
Sidang tahunan MPR 2002 yang berlangsung
1-11 Agustus 2002. Perubahan keempat UUD 1945 juga melengkapi kekurangan
peraturan dalam pasal 8 ayat 1 dan 2 yang telah diputuskan dalam perubahan ketiga
(tahun 2001), dengan menambahkan ayat 3.
F. Pentingnya Konstitusi Bagi Suatu Negara
Eksistensi konstitusi
dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara merupakan sesuatu hal yang sangat
krusial, karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara.
Dalam lintasan sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang
tidak memiliki konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi
sebagai suatu perangkat negara. Konstitusi dan negara ibarat dua sisi mata uang
yang satu sama lain tidak terpisahkan. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar
merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai pemberi pegangan dan pemberi
batas, sekaligus dipakai sebagai pegangan dalam mengatur bagaimana kekuasaan
negara harus dijalankan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Bagir Manan
mengatakan bahwa hakikat konstitusi merupakan perwujudan paham tentang
konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satupihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap
penduduk dipihak lain. Sejalan dengan perlunya konstitusi sebagai instrumen
untuk membatasi kekuasaan dalam suatu negara.
Miriam Budiardjo mengatakan:“Di dalam negara-negara
yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar
mempunyai fungsi yang khas,yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa
sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian
diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi”.
Dalam konteks pentingnya konstitusi sebagai pemberi
batas kekuasaan tersebut, Kusnardi menjelaskan bahwa konstitusi dilihat dari
fungsinya terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yakni membagi kekuasaan dalam
negara, dan membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Lebih
lanjut, ia mengatakan bahwa bagi mereka yang memandang negara dari sudut
kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan, maka konstitusi dapat
dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana
kekuasaan dibagai di antara beberapa lembaga kenegaraan, seperti antara lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Selain sebagai pembatas kekuasaan, konstitusi juga
digunakan sebagaialat untuk menjamin hak-hak warga negara. Hak-hak tersebut
mencakup hak-hak asasi, seperti hak untuk hidup, kesejahteraan hidup, dan hak
kebebasan.Mengingat pentingnya konstitusi dalam suatu negara ini, Struycken
dalam bukunya “Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlander ” menyatakan
bahwa Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal
yang berisikan:
·
Hasil perjuangan
politik bangsa di waktu yang lampau.
·
Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
·
Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik
untuk waktu sekarang maupun untuk waktu yang akan datang.
Suatu keinginan, di mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Keempat materi yang terdapat dalam
konstitusi atau undang-undang tersebut, menunjukkan arti pentingnya suatu
konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa, serta memberikan
arahan dan pedoman bagi generasi penerus bangsa dalam menjalankan suatu negara.
Dan pada prinsipnya, semua agenda penting kenegaraan serta prinsip-prinsip
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah tercover dalam konstitusi.
Dari beberapa pakar yang menjelaskan mengenai
urgensi konstitusi dalam sebuah negara, maka secara umum dapat dikatakan bahwa
eksistensi konstitusi dalam suatu negara merupakan suatu keniscayaan, karena
dengn adanya konstitusi akan tercipta pembatasan kekuasaan melalui pembagian
wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan negara. Selain itu, adanya konstitusi
juga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga
negara, sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah
tercatat beberapa upaya pembentukan Undang-Undang Dasar, penggantian Undang-Undang Dasar, dan perubahan
dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar
1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai
hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik
Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian
konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara
Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan,
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang- Undang Dasar baru
sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus
ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk,
diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956
sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat
tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan,
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya
yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain
membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar
1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Saepuloh,
Modul Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Bandung, Batik
Press, 2011.
Subhan
Sofhian dan Asep Sahid Gstara, Pendidikan Kewarganegaraan (civic educatin). Bandung,
Fokus Media, 2011
Kaelan,
Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Paradigma, 2010.
Budimansyah,
Dasim, Penguat Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Bangsa, Bandung,
Widya Aksara Press, 2010.
Budiarja,
Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1987.
footnotenya bang
ReplyDelete